Jumat, 14 Agustus 2009

Antara denpasar dan palangkaraya

Dua tahun berlalu,
rasa rindu dibayar dalam seminggu,
tidak cukup!

Tiga tahun hidup jauh dan sendiri,
belajar kebiasaan baru orang Bali.
Orang-orang bangun pagi,
mebhakti* dan beri sesaji untuk Sang Hyang Ida Widhi*.

Aku pun tak mau kalah,
beribadah itu kebutuhan orang beriman.
Bangun pagi, aku ikut mebhakti,
berdoa dan membaca kitab suci,
memberi persembahan hati dan diri untuk Hattala Je Pangkahai*.

Dulu belasan tahun,
kulihat orang-orang sibuk sekolah atau kerja.
Pulang sore lantas bercengkrama dengan keluarga.
Palangkaraya masih bisa open house* lalu saling maja*...

Disini tiga tahun,
kulihat orang-orang sibuk sekolah atau kerja,
pulang malam lanjut kerja,
ada yang pergi pagi pulang pagi...
Jarang bercengkrama dengan sesama,
kecuali ada acara atau upacara...

Denpasar,
salah satu kota besar berskala internasional
Palangkaraya,
salah satu kota yang masih berkembang,
berusaha masuk level taraf nasional...

Denpasar,
tidak pernah benar-benar sepi,
kecuali saat hari raya Nyepi*,
itupun masih ada yang curi-curi untuk keluar dan tak menyepi.

Palangkaraya,
di atas jam 10 malam seperti “kota mati”,
semua orang beristirahat dirumahnya sendiri...
Sepi.., tenang.., belum benar-benar “ribut”,
belum bising oleh hingar bingar perkembangan zaman.

Denpasar,
orang-orang setiap hari membudayakan budaya nenek moyangnya,
walau ikut arus modernisasi,
walau badan penuh tindik,
tetap pulang nanti mebhakti*.

Palangkaraya,
setiap hari, orang-orang makin banyak yang “lupa jati dirinya”,
alasannya ikut modernisasi,
sampai-sampai ada yang malu mengakui darah sendiri,
katanya kalau Dayak dianggap primitif,
padahal orang Dayak juga punya harga diri sama tinggi.

Denpasar,
kota "kecil", makin lama makin sempit,
sedikit hujan air menggenang,
lalu banjir.
Palangkaraya,
kota "besar", makin lama makin dipadatkan,
banyak hujan belum jadi masalah,
tapi selalu kebakaran hutan.

Denpasar,
kota sempit, menghargai budaya,
di banjar ada sanggar seni,
setidaknya tiap orang tahu warisan nenek moyang,

Palangkaraya,
kota luas, dimana budaya warisan tatu hiang*?
Di museum? Di sandung*?
Anak esu* makin tak tahu apa itu Isen Mulang*...

Antara Denpasar dan Palangkaraya,
masing-masing punya lebih dan kurang,
tapi masing-masing juga,
punya arti dalam hati...
Sudah serasa "rumah sendiri".



Denpasar, 19 mei 2009, 12.08 am wita
edited 2 september 2009, 07.30 am wita


--------------------------------

*Mebhakti = beribadah menurut kepercayaan umat Hindu – Bali

*Sang Hyang Ida Widhi = Tuhan (dlm bhs Bali)

*Hattala Je Pangkahai = Tuhan yg Maha Besar (dlm bhs Dayak)

*Open house = istilah dr bhs Inggris utk kebiasaan orang palangkaraya yang selalu open house saat ada peringatan hari2 besar, spt Natal, Thn Baru, Lebaran, dsj.

*Maja = bhs Dayak utk menggambarkan bertamu

*Nyepi = Hari raya tahun br utk umat Hindu

*Sandung = tempat menaruh tulang belulang sbelum diupacarakan dgn upacara Tiwah (tradisi kepercayaan Hindu Kaharingan) Suku Dayak.

*Esu = bhs Dayak Ngaju artinya cucu

*Isen Mulang = slogan khas Kalteng artinya Pantang Mundur


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave a positive comment, positive response and feedback. Thank you! Keep positive!