Sabtu, 10 Oktober 2009

(A story)Miskin, tak pernah membuatku malu.. (part I)

Mereka, orang-orang yang berdasi berjalan keluar dari kotak mewah yang menderu dan berasap, memberikan polusi, sering kali memandang sebelah mata kepadaku, kepada orang tuaku, kepada saudara-saudaraku, kepada kami yang diberikan sebuah label "Miskin". Seolah-olah label itu menandakan bahwa kami tidak memiliki hak, tidak memiliki kesempatan untuk mendapat yang lebih baik.

Padahal, dari segi agama atau keyakinan yang mereka pegang, katanya semua orang berhak hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak. Tapi, tak sedikit orang-orang yang masih susah makan, menderita, bahkan anak-anak yang tidak dapat bersekolah.

Padahal lagi, dari undang-undang pun katanya dijamin. Tapi, itu semua hanya deretan kata-kata tanpa bukti nyata. Orang kaya makin hari makin kaya. Orang miskin ya makin hari hanya mimpi untuk bisa makan saja baik, tapi yang ada makin tidak baik..

Miskin.... Miskin.... Kata-kata yang selalu kudengar melebihi dendangan lagu-lagu baru yang berganti tiap minggu dari tape Pak Ali, pedagang sate di ujung gang jalan kumuh ini. Setiap hari, ibu-ibu atau juga bapak-bapak sekitarku, hanya bisa menangis. Bahkan dalam doa pun saat sembahyang, hanya menangis tanpa kata-kata.

Tak pernah berharap lebih, memiliki kotak mewah yang menderu dan terlihat berkilap jauh dari debu, atau berharap makanan tersaji lebih dari 3 macam setiap hari. Apalagi berharap menggunakan baju seragam sekolah dan memiliki buku juga pensil. Berharap besok masih bisa melihat matahari saja, sudah jauh lebih baik. Karena matahari menandakan pagi. Pagi menandakan hari baru. Pagi, menandakan kami, orang-orang yang tidak memiliki banyak hal baik ini masih hidup. Dan, hidup adalah kesempatan untuk berusaha lebih baik.

Setiap pagi, semenjak aku, si kecil ini bisa menyadari, bahwa kehidupan sekelilingku tidak seindah cerita-cerita di teve, atau tidak seindah cerita-cerita dongeng dari buku-buku milik Adist, anak seorang guru yang tinggal tak jauh dari rumah kami. Adist, teman kecil yang terlihat selalu bersih dengan baju-baju yang sangat baik dibanding baju kaos kumuhku. Selalu senang berbagi, walau hanya cerita-cerita, atau buku yang bisa kupinjam untuk kubaca. Bahkan, tak jarang, ia mengajarkanku matematika dan bahasa. Kadang sejarah, kadang IPA. Apapun yang ia anggap ia bisa, aku diajaknya belajar bersama.

Rumahnya, bertingkat dua, dengan banyak kamar. Walau ayahnya, Pak Sangkum hanya guru, tapi mereka punya bisnis keluarga, dibantu ibunya. Wanita muda yang ramah dan baik hati. Tak jarang aku diajak makan bersama, bahkan sering disuapi dari tangannya. Hal yang tak pernah kudapatkan di rumahku. Tak jarang juga, aku dibungkusi sate, nasi, sayur atau sekedar kue-kue. Rumah Adist, rumah yang menyenangkan, bagi anak-anak seperti aku, yang jauh dari keadaaan cukup.

Rumah, entahlah..., apakah kotak usang ini pantas disebut rumah atau hanya sekedar gubuk reot yang bocor disana sini. Setiap hujan deras menderu kota ini, maka akan terdengar bunyi tetesan air berdenting pada mangkuk-mangkuk seng, seperti berlomba mengalahkan suara deburan air hujan yang turun dari langit. Bocor tak jadi soal, karena kalau musim kemarau yang panas dan terasa lebih panjang, maka sumber-sumber bolong itu memberikan keuntungan lain. Ia memberikan sedikit kesegaran dari angin-angin yang masuk ke dalam rumah sumpek dan padat ini. Setidaknya ada sirkulasi udara,kata-kata penghiburan yang selalu keluar dari bibir pria tua yang selalu kuhormati itu.

Ya, selalu ada penghiburan disela-sela kemirisan dan duka yang membuat manusia yang lemah ini memilih lebih baik tidak dilahirkan. Selalu ada kalimat pensyukuran diatas semua kekurangan. Walau kelebihan itu tidak pernah benar-benar terasa lebih. Walau kadang wanita tua yang setia menemani pria tua itu sering kali mengeluh dan menangis. Tapi toh, ia tetap hidup. Mereka tetap hidup dan masih bisa menikmati hari dengan semua kelengkapannya.

“Air mata jangan disia-siakan. Ia terlalu berharga untuk setetes kedukaan yang tak berguna.” Ujar pria tua yang sedang duduk bersender pada satu dinding gubuh yang cukup kokoh. Pria tua itu benar-benar orang terbijaksana yang aku kenal sedari kecilku. Entahlah, apa yang ia miliki yang membuatku merasa ia lebih dibanding pria lainnya? Bajunya usang, kadang sehari tak pernah diganti. Dari pagi, siang hingga sebelum tidur, akan terus melekat pada tubuh kurusnya yang tinggi. Kalau mandi, sesaat dijemurnya di depan rumah agar terpanaskan sinar matahari terik atau sekedar diangin-anginkan agar menghilangkan bau keringat dan mengeringkannya.

“Tapi meneteskan sedikit kesedihan itu membantu membuat hati yang berbeban berat ini lega...” wanita tua namun masih nampak anggun itu menyahut. Ia duduk di sebuah bangku kayu kecil buatan pria tua, yang ditempatkannya di dekat jendela. Dengan posisi setengah membelakangi pria tua dan menghadap jendela.

“Menangis itu membuang energi saja. Toh, permasalahan tidak kunjung selesai. Hanya menutupi fakta untuk sesaat yang kita anggap lega.Toh juga kemiskinan tetap tidak akan berubah tanpa usaha keras. masalah akan terus ada apabila tidak diselesaikan.” Pria tua itu kembali mengutarakan opini tajamnya yang membuat wanita tua itu mendelik setengah kecewa tapi tetap berhati-hati menjaga raut wajah juga tatapan matanya, mungkin menjaga perasaan pria tua itu.

“Seandainya saja aku bisa memilih. Seandainya kita bisa memilih, untuk hidup dalam kondisi seperti apa. Pasti bukan seperti sekarang yang kita pilih kan?!” nadanya sedikit meninggi kemudian isak tangisnya makin kuat tapi tetap tertahan.

“Sudahlah, menjadi miskin atau kaya, itu semua anugerahNya. Terima saja, jalani dan usahakan sebaik-baiknya. Karena menjadi miskin bukan suatu aib. Toh dimataNya semua sama saja. Hanya hati yang memberikan perberdaan.” Pria tua itu lantas beranjak dari duduknya.

“Aku mandi dulu. Sebentar lagi Pak Sangkum akan minta bantuanku membersihkan halaman rumahnya.” Ujar pria tua itu sambil beranjak dan mengambil selembar handuk sedang yang menggantung di sisi pintu kamar mandi, tidak kecil tapi tentu tidak besar. Sedang, wanita tua itu masih nampak terisak. Mungkin karena beban sesuatu yang ada pada dirinya. Entahlah, saat itu aku masih belum mengerti.

Sebentar, barusan pria tua itu bilang, akan membersihkan halaman rumah pak Sangkum. Berarti pria tua itu akan pergi ke rumah Adist. Semoga saja aku boleh ikut. Walau tidak diajak pun, aku pasti akan pergi sendiri dan menemui anak gadis Pak Sangkum itu. Karena, di rumah Adist selalu banyak buku untuk dibaca. Juga, Adist selalu mengajarkanku banyak hal baru yang membuatku bersemangat ingin tahu. Semoga...., semoga saja aku diajak serta.



(....................bersambung/to be continued........................)



copyright Jeannita Adisty
Denpasar, 10 Oktober 2009
Pastem, 2.28.